Search This Blog

Pages - Menu

Monday 30 December 2013

Menapak Singkat di Soputan


‘’Thox, jadi nggak?’’
‘’Jadi donk. Ayoo…,’’ kataku pasti.
‘’Nanti untuk menghemat waktu, kita naik motor sampai ke lereng, kemudian baru kita lanjutkan dengan jalan kaki’’
‘’Atur saja,’’ akupun bersemangat.
Pagi itu, aku dan kakakku, Che, berencana mendaki Gunung Soputan. Rencana yang sudah lama sebenarnya, tapi seringkali gagal. Ya, kesibukanku bekerja di luar Sulawesi Utara menjadikannya hampir mustahil. Meski tahun ini aku sering pulang, tapi sebagian besar waktu aku manfaatkan untuk istirahat maupun kumpul dengan keluarga. Dan kali ini, meski waktu sempit, aku menyempatkan untuk menapaki Soputan dengan kakakku. Dia memang sudah sering ke gunung ini sejak jaman sekolah. Sedangkan aku belum pernah. Sejak dulu ingin sekali, namun tidak diizinkan orang tua, terutama mama. Kakakku yang memang nakal waktu itu ya gampang saja. Dikasih izin atau tidak, tetap berangkat. Hehe..
Letusan Gunung Soputan pada Agustus 2012
Letusan Gunung Soputan pada Agustus 2012
Gunung Soputan adalah salah satu gunung aktif di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Saat ini, puncaknya sudah semakin tinggi karena seringnya meletus. Dari Manado, membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dengan mobil untuk mencapai perkampungan di dekat gunung ini.

‘’ayo…’’ kata Che yang sudah siap di atas motor memanggilku untuk segera bergegas dari teras rumah.
Perjalanan ini tidak sampai sehari. Rencananya hanya sampai ke area Pemandangan -lokasi tepat di depan puncak- dan tidak akan sampai mendaki ke puncak kawah Soputan. Tentu saja tidak akan menginap. Jadi perlengkapan yang dibawa seadanya saja. Aku hanya dengan sebuah tas backpacker mini yang berisi kamera, tripod, sebatang cokelat dan sebotol green tea madu.
Hanya sekitar 15 menit dari rumah, sampailah kami di lereng, bukan lereng Soputan, tapi lereng sebuah gunung di depannya. Dengan motor, setidaknya kami menghemat waktu lebih dari sejam. Motor ditaruh di salah satu kebun di antara semak-semak yang lumayan rimbun. 
Kebun masyarakat di sekitar lereng gunung Soputan
‘’Mau ke mana?’’ sapa seorang petani yang lewat.
‘’Mau naik ke Soputan, Om,’’ jawabku.
‘’Oh, iya. Baik-baik ya di atas. Hati-hati di jalan.’’
Sesekali kami bertemu beberapa orang pendaki yang turun gunung. Ada juga sepasang bule yang kata pemandunya udah beberapa hari di atas bahkan tadi pagi mereka sampai ke puncak kawah Soputan. Kakakku kaget, karena sejak aktif meletus beberapa waktu lalu, belum pernah ada yang berani sampai ke puncaknya. Apalagi puncaknya sudah bertambah tinggi dari sebelumnya. Bahkan pemandu bule itu yang merupakan warga lokal di lereng gunung tidak berani mengantar sampai ke puncak.
‘’Hanya mereka berdua yang lanjut sampai ke puncak. Kalo saya sih takut,’’ ujarnya.
Langkahku yang lumayan cepat membuat heran Che.
‘’Wah, kuat juga ya kamu,’’ katanya di belakangku sambil ngos-ngosan.
‘’Iya donk,’’ jawabku sambil mengelap keringat. Sebenarnya lutut sudah sedikit pegal, tapi harus tetap terlihat elegan, biar tidak diketawain. Ahahah..
Langkah kaki kami sementara dihentikan di sebuah lahan terbuka dengan pemandangan yang indah. Dan mataku seolah tidak bisa berkedip menatap hamparan ciptaan Illahi dari ketinggian ini. Kakakku yang sudah duduk di atas rumput terlihat biasa saja. Dan membiarkanku yang terkagum sendiri menikmati suasana alam yang memang… waw… Kuambil kameraku dan mulai mengabadikan keindahannya. Awan tebal menghiasi langit, seolah menjadi atap kehidupan alam Minahasa di bawahnya. Kampung halamanku sangat indah dari atas sini. Tampak pula Danau Tondano di kejauhan.
Dalam perjalanan, kami disuguhi pemandangan ini sob.. :)
"Ayo, kita lanjut. Kan nanti juga balik ke sini. Kalo sore, pemandangannya lebih bagus,’’ kata Che, menyuruh melanjutkan perjalanan. Baiklah brother
Beranjak dari tempat itu, terlintas di pikiranku, katanya Che tadi, kalo sore bagus. Nah, bagaimana seandainya kalo pas matahari terbit ya? Wah… Penasaran jadinya.
Di tengah perjalanan, kami melewati aliran air yang dingin. Duh, sejuknya. Di salah satu sisi yang lain, terdapat aliran dengan dasar tanah berwarna putih, seolah ditaburi bedak dengan bau belerang yang menyengat. Kata Che, suasana di sini akan lebih indah jika airnya lebih tinggi dari sekarang. Dan bau belerang yang tercium merupakan aliran gas dari Kawah Tua, sebutan untuk kawah di salah satu sisi gunung, dan katanya lagi, tidak boleh melewati tempat ini pada dini hari. Karena pada saat itu, aliran gas yang melaluinya sangat beracun.
Beberapa kali kami melewati medan bekas longsor. Aku disuruh berhati-hati melewati tempat ini. Jangan sembarangan berpegangan, menarik akar atau batang pohon, dan tidak boleh berlama-lama. Dikhawatirkan apabila terjadi longsor tiba-tiba. Sesekali kami menatap ke arah tebing, untuk memastikan kondisi jalan aman untuk dilewati.
Mulai dari aliran air tadi, kami sudah melepas sepatu. Sampai akhirnya kami sampai di sumber air pancuran yang sangat sejuk, jernih dan bersih. Kami berhenti sejenak, mencuci muka, kaki, menyejukkan badan, kemudian mengenakan kembali sepatu dan melanjutkan perjalanan ke basecamp.
Basecamp di sini cukup luas, dengan pohon cemara yang menjulang tinggi membuatnya terlindung dari sinar matahari. Sudah ada banyak pendaki ternyata di sini. Ditandai dengan beberapa tenda yang berdiri. Kami hanya jalan melewati basecamp tanpa berhenti. Karena diburu waktu, kami harus segera ke Pemandangan.
‘’Nantilah, kalo sudah mau balik, baru kita singgah,’’ Usul Che lagi. Sepakat.
Sepanjang perjalanan dari basecamp menuju Pemandangan, banyak kulihat tanaman kismis dan kantung semar yang tumbuh di atas pasir keras. Kami biasa menyebut kismis ini dengan nama ‘’krenten’’. Che yang merupakan anggota Komunitas Pecinta Alam Langowan (KPLANG) bercerita, bahwa untuk menjaga kelestarian tanaman kantung semar di tempat ini, dulu komunitasnya pernah melarang orang-orang yang mengambil dan menjualnya di pasar dengan jumlah yang sangat banyak. Bahkan mereka sampai harus ribut dengan orang-orang tersebut.
Setelah kurang lebih dua jam dari lereng, sampai juga kami di area Pemandangan. Aku menghela nafas, mengagumi sebuah onggokan pasir besar tepat di depan mata. Sesuatu yang dulu pernah melegenda di telingaku waktu kecil. Sesuatu yang biasanya hanya bisa kulihat dari jauh. Sesuatu yang dari padanya sering memuntahkan material yang menyuburkan tanah Minahasa di sekitarnya. Dengan begitu angkuhnya, puncak Gunung Soputan berdiri di hadapan kami.
Puncaknya masih malu-malu. hehe...
Puncaknya masih tertutup awan.
‘’Tunggu sedikit lagi. Mudah-mudahan tidak bertambah mendung.  Sepertinya awan-awan itu akan tertiup angin dan puncaknya terlihat,’’ kata Che.
Dan benar saja. Awannya menyingkir seolah mau memamerkan keindahan bentuk puncak Soputan secara utuh kepada kami.
Terlihat utuh sampai ke puncak.... :O
‘’Ayo, cepat kalau mau ambil foto. Sebelum awannya menutup puncak lagi,’’ pinta Che.
Setelah menatap puas puncak Soputan, akupun mengambil beberapa foto. Terlihat awan seolah memayungi Soputan. Didepannya adalah induk gunung yang sudah tidak aktif. Dan di belakangnya adalah anak gunung Soputan yang sudah bertambah besar karena seringnya meletus dan masih aktif hingga sekarang.
brothers...
Langit makin mendung. Setelah minikmati suasana di Pemandangan, kami kembali ke basecamp. Singgah sebentar di sisi yang lain untuk melihat Kawah Tua.
Kawah Tua
Kemudian kembali menuju basecamp. Suasananya sungguh tenang dan nyaman. Akupun tidur-tiduran di atas rumput dan menatap pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang seolah menopang langit. 
pohon-pohon cemara di basecamp seolah sedang menopang langit
nyantai dulu sejenak sebelum turun
Hari menjelang sore. Matahari sebentar lagi terbenam. Itu tandanya kami harus segera bergegas turun gunung.
‘’Matahari sudah mulai masuk. Ayo turun. Nanti kita singgah di tempat yang tadi. Di situ pemandangannya bagus kalo matahari terbenam,’’ seru Che.
Kamipun turun. Di perjalanan, kami bertemu beberapa teman yang baru naik. Ada bahkan yang membawa istri dan anaknya yang masih kecil. Sepertinya mereka sekeluarga memang punya hobi yang sama, yaitu mendaki gunung.
Sekali-sekali aku menatap langit melalui sela-sela pepohonan. Sepertinya, kami sedikit terlambat. Matahari sudah semakin masuk. Semoga masih ada pemandangan indah yang tersisa di tempat itu. Dan benar saja. Pemandangan yang tersisa tidak mengecewakan.
suasana sore di perjalanan turun gunung
Sampai di lereng tempat kami menaruh motor tadi siang, hari mulai gelap dan udara dingin semakin menusuk. Kamipun segera bergegas menuju rumah.
Lain kali mesti camping nih… 
akan merindukan tempat ini...
 ***
Tips perjalanan ke Gunung Soputan.
  • Tansport dari Manado (terminal Karombasan) - Langowan dengan angkutan umum Rp. 14.000 (harga s.d. postingan ini dibuat). Turun di perempatan desa Walantakan. Naik ojeg ke desa Tumaratas, bilang aja mau ke Soputan. Minta diturunkan di jalan yang dekat dengan akses ke sana.
  • Bisa juga menumpang mobil yang lalu lalang dari Manado ke arah Langowan (Minahasa)
  • Sebaiknya menggunakan pemandu. Bisa menghubungi komunitas pecinta alam di daerah setempat, yaitu Kelompok Pecinta Alam Langowan (KPalang), atau kelompok pecinta alam di kampus-kampus di Manado, siapa tahu mereka ada plan ke sana. Bisa juga minta tolong ke penduduk setempat.
*****