Belajar menulis: Feature
Belajar menjadi jurnalis itu gampang-gampang susah. Tapi seru dan
menantang. Kali ini aku mencoba belajar menulis sebuah feature.
Apa itu feature?
Berdasarkan referensi dari berbagai sumber, aku berkesimpulan bahwa Feature
itu adalah sebuah karya jurnalistik yang berisi cerita non fiksi dengan
sudut pandang (opini) dari penulis, dengan alur yang sederhana dan mengalir
seperti sebuah karya sastra. Umumnya feature mengandung human interest, yang
dapat menggugah perasaan para pembaca, misalnya terharu, jengkel, marah, bahkan
dapat memotivasi dan menginspirasi.
Awalnya aku masih bingung mau menulis tentang apa dan siapa kali ini.
Entahlah, namun aku saat itu yakin, kadang suatu ide bisa muncul tiba-tiba, tak
terduga tanpa mesti kita rencanakan sebelumnya. Yang penting tema-nya sudah
kita pikirkan, misalnya seperti sekarang ini ada di benakku, perjuangan orang
pingiran ibukota dalam bertahan hidup, kita tentukan tempat, terus jalan dulu,
siapa tahu ada sesuatu yang bisa kita tulis yang tidak sengaja kita temukan.
Aku yang sama sekali tidak mengenal sisi dan sudut ibukota Jakarta merasa
kesulitan menentukan tempat bertualang. Aku bbm
beberapa teman, banyak yang menyarankan tempat-tempat yang memang tidak asing.
Ya, setidaknya aku sering mendengar nama tempat-tempat itu di televisi. Dan
setelah berpikir singkat, kujatuhkan pilihanku ke sebuah lokasi ‘’Terminal
Kampung Melayu’’, Jakarta. Syukurlah hari ini tidak hujan, jadi lebih enak jalan-jalannya.
Hiruk pikuk dan berbagai kejadian kriminal di Jakarta yang sering aku
lihat di televisi membuatku waspada dan hati-hati dalam menapakkan kaki di kota
ini. Agar lebih aman dan nyaman, aku menggunakan taksi menuju jembatan layang
terminal Kampung Melayu. Setelah melihat-lihat beberapa sisi tempat ini, mataku
tertuju ke sesosok bapak yang dengan peluh bercucuran karena teriknya cahaya
matahari sore yang langsung menerpanya, namun tetap tekun dengan
jahitannya. Dan dimulailah sebuah percakapan layakya seorang reporter lugu
amatiran. Haha…
Setelah mendapat beberapa catatan, aku kembali menyusuri sisi tempat
ini. Banyak permasalahan sosial mewarnai area sekitar. Gelandangan, pengemis,
anak-anak jalanan dan lain sebagainya. Miris juga melihat kondisi yang sangat
jauh dan berbanding terbalik dengan pemandangan gedung-gedung bertingkat di
kota Jakarta. Suasana ini terasa seperti di dunia lain. Seolah tidak ada yang
mempedulikannya, dan mereka harus berjuang keras bertahan hidup. Suasana
terlihat cukup semrawut.
Mengingat waktu yang semakin sempit dan kemungkinan macet, aku kembali
ke hotel dengan menggunakan jasa ojeg. Untuk pertama kalinya aku naik ojeg di
Jakarta.
Berikut ini aku mencoba membuat tulisan jenis feature tersebut.
Suparnowo:
Yang Penting Anak-anak Saya Bisa Sekolah
Oleh: Mulyanto Syawal
Dengan cekatan, tangan yang sudah tidak muda lagi itu memainkan alat
jahit tua nan kusam, menyelesaikan jahitan bahan pesanan orang. Kebisingan dan
polusi jalanan di depannya seolah tidak sedikitpun mengganggu konsentrasinya
dalam bekerja. Demikian juga mentari sore yang menerpa tepat di hadapannya,
mencucurkan keringatnya, namun seolah tak dihiraukannya. Terlihat raut muka
lelah, tapi hal itu tak menghalanginya menebar senyum ketika saya
menghampirinya. Dari komplek bawah jembatan layang Kampung Melayu, Jakarta, Suparnowo
bercerita sekelumit kisah hidupnya malang melintang di ibukota sebagai tukang
permak pakaian jalanan.
Lelaki berusia 50 tahun ini sudah lama menekuni pekerjaan sebagai tukang
permak pakaian jalanan. Kehidupan ekonominya yang sulit di Kebumen, kampung
halamannya di Jawa Tengah, memaksanya merantau ke Jakarta untuk mencari
penghidupan yang lebih layak. Berbekal nekad dan pengetahuan yang pas-pasan di
bidang jahit menjahit saat itu, dia mencoba untuk mengais rejeki di kota
metropolitan ini.
‘’Kalau di kampung susah untuk cari uang,’’ ungkapnya.
Ayah dari tiga orang anak ini awalnya ke Jakarta karena ajakan teman
sekampungnya untuk bekerja di salah satu perusahaan jahit rumahan.
Penghasilannya yang saat itu terbilang kecil memaksanya untuk berpindah ke
tempat usaha yang lain. Namun berkali-kali ia merasa penghasilan yang
diperolehnya tidak adil dari sang majikan, diapun memutuskan untuk bekerja
sendiri. Berbagai macam profesi pernah dilakoninya. Dan akhirnya, pilihannya
jatuh ke tukang permak pakaian jalanan. Menurutnya, penghasilannya sekarang
lebih baik daripada yang sebelumnya diterima dari majikan.
Untuk satu buah celana atau kemeja yang dipermak, Suparnowo memasang
tariff rata-rata Rp. 15.000,- rupiah per potong. Itupun katanya masih sering
ditawar oleh pelanggan.
Menekuni pekerjaan tukang permak pakaian di jalanan ini bukan tanpa
rintangan. Berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya sudah sering
dilakukan. Lokasi yang biasa dipilihnya adalah daerah ramai dekat stasiun di
pelataran toko. Terkadang di bawah jembatan layang, namun sering kena razia.
Hujan dan panas seolah menjadi temannya sehari-hari dalam bekerja. Seringkali
ada keluhan-keluhan pelanggan yang kurang puas terutama celotehan ibu-ibu yang
terkadang tidak enak di telinganya. Namun semua diterimanya dengan ikhlas. Dia
menganggap semua itu sebagai proses dalam bekerja yang harus dilaluinya agar
menjadi lebih baik nantinya.
‘’Yah, namanya juga cari duit
mas. Mau gimana lagi, yang
penting selalu berusaha sebaik-baiknya agar langganan tidak lari,’’ imbuhnya sambil sesekali menarik nafas
dalam-dalam.
Sudah 20 tahun lebih dia melakoni pekerjaan ini. Keluarganya di kampung
halaman menjadi pemacu semangatnya untuk tetap bertahan dan bekerja keras meski
harus hidup susah di tengah himpitan ekonomi yang semakin melilit. Dia harus
mengencangkan ikat pinggang dan hidup berhemat agar dapat mengumpulkan rupiah
demi rupiah untuk biaya sekolah anak-anaknya yang jauh di sana. Bahkan dalam
kesehariannya, dia rela tinggal di sebuah bilik yang disewa bersama dengan
beberapa teman seperantauan untuk menekan biaya pengeluaran.
‘’Yang penting anak-anak saya bisa sekolah. Apalagi yang paling bungsu,
dia putra satu-satunya, mau masuk STM,’’ imbuhnya dengan senyuman kecil terukir
penuh harapan dan kebanggaan.
Sosok Suparwono yang bersemangat namun bersahaja mengajarkan kita
bagaimana bersikap menghadapi kesulitan dengan ikhlas dan tidak berputus asa.
Perjuangannya untuk menghidupi keluarga di tengah kerasnya hidup di
perantauan menunjukkan pengorbanan seorang kepala rumah tangga yang tanpa
pamrih. Sesekali terlintas harapan di benaknya, semoga anak-anaknya mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik dari yang dilakukannya sekarang.
*****
No comments:
Post a Comment