‘’Thox, jadi nggak?’’
‘’Jadi donk. Ayoo…,’’ kataku pasti.
‘’Nanti untuk menghemat waktu, kita naik motor
sampai ke lereng, kemudian baru kita lanjutkan dengan jalan kaki’’
‘’Atur saja,’’ akupun bersemangat.
Pagi itu, aku dan kakakku, Che, berencana
mendaki Gunung Soputan. Rencana yang sudah lama sebenarnya, tapi seringkali
gagal. Ya, kesibukanku bekerja di luar Sulawesi Utara menjadikannya hampir
mustahil. Meski tahun ini aku sering pulang, tapi sebagian besar waktu aku
manfaatkan untuk istirahat maupun kumpul dengan keluarga. Dan kali ini, meski
waktu sempit, aku menyempatkan untuk menapaki Soputan dengan kakakku. Dia
memang sudah sering ke gunung ini sejak jaman sekolah. Sedangkan aku belum
pernah. Sejak dulu ingin sekali, namun tidak diizinkan orang tua, terutama
mama. Kakakku yang memang nakal waktu itu ya gampang saja. Dikasih izin atau
tidak, tetap berangkat. Hehe..
Letusan Gunung Soputan pada Agustus 2012 |
Letusan Gunung Soputan pada Agustus 2012 |
‘’ayo…’’ kata Che yang sudah siap di atas
motor memanggilku untuk segera bergegas dari teras rumah.
Perjalanan ini tidak sampai sehari. Rencananya
hanya sampai ke area Pemandangan -lokasi tepat di depan puncak- dan tidak akan
sampai mendaki ke puncak kawah Soputan. Tentu saja tidak akan menginap. Jadi
perlengkapan yang dibawa seadanya saja. Aku hanya dengan sebuah tas backpacker
mini yang berisi kamera, tripod, sebatang cokelat dan sebotol green tea madu.
Hanya sekitar 15 menit dari rumah,
sampailah kami di lereng, bukan lereng Soputan, tapi lereng sebuah gunung di
depannya. Dengan motor, setidaknya kami menghemat waktu lebih dari sejam. Motor
ditaruh di salah satu kebun di antara semak-semak yang lumayan rimbun.
‘’Mau ke mana?’’ sapa seorang petani yang
lewat.
Kebun masyarakat di sekitar lereng gunung Soputan |
‘’Mau naik ke Soputan, Om,’’ jawabku.
‘’Oh, iya. Baik-baik ya di atas. Hati-hati di
jalan.’’
Sesekali kami bertemu beberapa orang pendaki
yang turun gunung. Ada juga sepasang bule yang kata pemandunya udah beberapa
hari di atas bahkan tadi pagi mereka sampai ke puncak kawah Soputan. Kakakku
kaget, karena sejak aktif meletus beberapa waktu lalu, belum pernah ada yang
berani sampai ke puncaknya. Apalagi puncaknya sudah bertambah tinggi dari
sebelumnya. Bahkan pemandu bule itu yang merupakan warga lokal di lereng gunung
tidak berani mengantar sampai ke puncak.
‘’Hanya mereka berdua yang lanjut sampai ke
puncak. Kalo saya sih takut,’’ ujarnya.
Langkahku yang lumayan cepat membuat heran
Che.
‘’Wah, kuat juga ya kamu,’’ katanya di
belakangku sambil ngos-ngosan.
‘’Iya donk,’’ jawabku sambil mengelap
keringat. Sebenarnya lutut sudah sedikit pegal, tapi harus tetap terlihat
elegan, biar tidak diketawain. Ahahah..
Langkah kaki kami sementara dihentikan di
sebuah lahan terbuka dengan pemandangan yang indah. Dan mataku seolah tidak
bisa berkedip menatap hamparan ciptaan Illahi dari ketinggian ini. Kakakku yang
sudah duduk di atas rumput terlihat biasa saja. Dan membiarkanku yang terkagum
sendiri menikmati suasana alam yang memang… waw…
Kuambil kameraku dan mulai mengabadikan keindahannya. Awan tebal menghiasi
langit, seolah menjadi atap kehidupan alam Minahasa di bawahnya. Kampung
halamanku sangat indah dari atas sini. Tampak pula Danau Tondano di kejauhan.
Dalam perjalanan, kami disuguhi pemandangan ini sob.. :) |
"Ayo, kita lanjut. Kan nanti juga balik ke
sini. Kalo sore, pemandangannya lebih bagus,’’ kata Che, menyuruh melanjutkan perjalanan.
Baiklah brother…
Beranjak dari tempat itu, terlintas di
pikiranku, katanya Che tadi, kalo sore bagus. Nah, bagaimana seandainya kalo
pas matahari terbit ya? Wah… Penasaran jadinya.
Di tengah perjalanan, kami melewati aliran air
yang dingin. Duh, sejuknya. Di salah
satu sisi yang lain, terdapat aliran dengan dasar tanah berwarna putih, seolah
ditaburi bedak dengan bau belerang yang menyengat. Kata Che, suasana di sini akan
lebih indah jika airnya lebih tinggi dari sekarang. Dan bau belerang yang
tercium merupakan aliran gas dari Kawah Tua, sebutan untuk kawah di salah satu
sisi gunung, dan katanya lagi, tidak boleh melewati tempat ini pada dini hari.
Karena pada saat itu, aliran gas yang melaluinya sangat beracun.
Beberapa kali kami melewati medan bekas
longsor. Aku disuruh berhati-hati melewati tempat ini. Jangan sembarangan berpegangan,
menarik akar atau batang pohon, dan tidak boleh berlama-lama. Dikhawatirkan
apabila terjadi longsor tiba-tiba. Sesekali kami menatap ke arah tebing, untuk memastikan
kondisi jalan aman untuk dilewati.
Mulai dari aliran air tadi, kami sudah melepas
sepatu. Sampai akhirnya kami sampai di sumber air pancuran yang sangat sejuk,
jernih dan bersih. Kami berhenti sejenak, mencuci muka, kaki, menyejukkan
badan, kemudian mengenakan kembali sepatu dan melanjutkan perjalanan ke basecamp.
Basecamp di sini cukup luas, dengan pohon
cemara yang menjulang tinggi membuatnya terlindung dari sinar matahari. Sudah ada
banyak pendaki ternyata di sini. Ditandai dengan beberapa tenda yang berdiri.
Kami hanya jalan melewati basecamp
tanpa berhenti. Karena diburu waktu, kami harus segera ke Pemandangan.
‘’Nantilah, kalo sudah mau balik, baru kita
singgah,’’ Usul Che lagi. Sepakat.
Sepanjang perjalanan dari basecamp menuju
Pemandangan, banyak kulihat tanaman kismis dan kantung semar yang tumbuh di
atas pasir keras. Kami biasa menyebut kismis ini dengan nama ‘’krenten’’. Che
yang merupakan anggota Komunitas Pecinta Alam Langowan (KPLANG) bercerita,
bahwa untuk menjaga kelestarian tanaman kantung semar di tempat ini, dulu
komunitasnya pernah melarang orang-orang yang mengambil dan menjualnya di pasar
dengan jumlah yang sangat banyak. Bahkan mereka sampai harus ribut dengan
orang-orang tersebut.
Setelah kurang lebih dua jam dari
lereng, sampai juga kami di area Pemandangan. Aku menghela nafas, mengagumi
sebuah onggokan pasir besar tepat di depan mata. Sesuatu yang dulu pernah
melegenda di telingaku waktu kecil. Sesuatu yang biasanya hanya bisa kulihat
dari jauh. Sesuatu yang dari padanya sering memuntahkan material yang
menyuburkan tanah Minahasa di sekitarnya. Dengan begitu angkuhnya, puncak
Gunung Soputan berdiri di hadapan kami.
Puncaknya masih malu-malu. hehe... |
Puncaknya masih tertutup awan.
‘’Tunggu sedikit lagi. Mudah-mudahan tidak
bertambah mendung. Sepertinya awan-awan
itu akan tertiup angin dan puncaknya terlihat,’’ kata Che.
Dan benar saja. Awannya menyingkir seolah mau memamerkan
keindahan bentuk puncak Soputan secara utuh kepada kami.
Terlihat utuh sampai ke puncak.... :O |
‘’Ayo, cepat kalau mau ambil foto. Sebelum
awannya menutup puncak lagi,’’ pinta Che.
Setelah menatap puas puncak Soputan, akupun
mengambil beberapa foto. Terlihat awan seolah memayungi Soputan. Didepannya
adalah induk gunung yang sudah tidak aktif. Dan di belakangnya adalah anak
gunung Soputan yang sudah bertambah besar karena seringnya meletus dan masih
aktif hingga sekarang.
brothers... |
Kawah Tua |
Hari menjelang
sore. Matahari sebentar lagi terbenam. Itu tandanya kami harus
segera bergegas turun gunung.
‘’Matahari sudah
mulai masuk. Ayo turun. Nanti kita singgah di tempat yang tadi. Di situ
pemandangannya bagus kalo matahari terbenam,’’ seru Che.
Kamipun turun. Di
perjalanan, kami bertemu beberapa teman yang baru naik. Ada bahkan yang membawa
istri dan anaknya yang masih kecil. Sepertinya mereka sekeluarga memang punya
hobi yang sama, yaitu mendaki gunung.
Sekali-sekali aku
menatap langit melalui sela-sela pepohonan. Sepertinya, kami sedikit terlambat.
Matahari sudah semakin masuk. Semoga masih ada pemandangan indah yang tersisa
di tempat itu. Dan benar saja. Pemandangan yang tersisa tidak mengecewakan.
suasana sore di perjalanan turun gunung |
Sampai di lereng
tempat kami menaruh motor tadi siang, hari mulai gelap dan udara dingin semakin
menusuk. Kamipun segera bergegas menuju rumah.
Lain kali mesti
camping nih…
*****
akan merindukan tempat ini... |
***
Tips perjalanan ke Gunung Soputan.
- Tansport dari Manado (terminal Karombasan) - Langowan dengan angkutan umum Rp. 14.000 (harga s.d. postingan ini dibuat). Turun di perempatan desa Walantakan. Naik ojeg ke desa Tumaratas, bilang aja mau ke Soputan. Minta diturunkan di jalan yang dekat dengan akses ke sana.
- Bisa juga menumpang mobil yang lalu lalang dari Manado ke arah Langowan (Minahasa)
- Sebaiknya menggunakan pemandu. Bisa menghubungi komunitas pecinta alam di daerah setempat, yaitu Kelompok Pecinta Alam Langowan (KPalang), atau kelompok pecinta alam di kampus-kampus di Manado, siapa tahu mereka ada plan ke sana. Bisa juga minta tolong ke penduduk setempat.